Dari Fase Stuck Sampai Fase Coffee

Fase stuck

Sebelumnya saya bekerja di perusahaan startup yang 1 tahun kemudian setelah saya tinggalkan perusahaan tersebut berhasil menjadi unicorn. Sial, ternyata pengaruh saya dalam menghambat laju perkembangan perusahaan sebesar itu. Saya bekerja di tempat tersebut sekitar hampir 5 tahunan. Berbagai macam drama, masalah banyak dilewati termasuk masalah dengan mental kerja saya. Sebelumnya saya termasuk pekerja kutu loncat, maksudnya saya selalu berpindah-pindah perusahaan dari 1 tempat ke tempat lainnya. Perusahaan yang pertama saya tempati benar-benar kacau. Saya digaji dibawah UMR padahal bukan karyawan magang, udah gitu gajinya bisa telat sampai 3 bulan. Gaji boleh kendor 3 bulan tapi ekspektasi para atasan tidak kendor sama sekali. Malahan makin kenceng karena di tengah kekacauan finansial diperlukan inisiatif kerja yang lebih tinggi tapi balik lagi, kalo perut lapar bagaimana bisa berinisiatif? Disitulah saya merasa kalo loyalitas itu tidak ada. Semakin kita memberi kelonggaran dan pemakluman atas kekacauan, semakin kita dimanfaatkan untuk terus bekerja tanpa henti. Jadi loyalitas itu tidak ada, yang ada itu adalah tanggung jawab.

Dari tahun ke tahun, mindset itu berevolusi ke arah yang salah. Pada titik terburuk, saya berpikir bahwa kerja ya kerja aja, tidak perlu banyak tau detail tentang apa yang saya kerjakan, toh hasilnya untuk perusahaan juga. Pola pikir seperti itu membuat saya stuck, sulit untuk berkembang. Saya tidak beda seperti sopir angkot yang sering menggerutu sama pengendara lain. Bisa dibilang, ketika itu saya termasuk karyawan yang overpaid. Skill oke, inisiatif kurang, tapi dibayar seperti seorang manajer. Lebih parahnya lagi, saya menggampangkan setiap pekerjaan. Saya sering menunda-nunda pekerjaan dengan dasar pemikiran kalo saya ini orang yang ahli bisa menyelesaikan semua pekerjaan dengan cepat jadi ngapain dikerjain sekarang. Saya hidup sekitar 7 tahunan dengan ilusi itu sampai saya menemukan suatu startup di bandung yang saya ceritakan di beberapa baris awal blog ini.

Ownership adalah kata pertama yang terekam di kepala saya semenjak bekerja di perusahaan itu. Setiap kali saya mendengarkan kata itu, saya langsung naik darah dan berpikir
“Ini orang pada tolol apa? Sebagus apapun yang lo kerjain ujung-ujungnya bakalan jadi milik perusahaan, sekuat apapun kita merasa memiliki produk tersebut itu bukan milik kita. Dasar sekumpulan orang halu”. Saya merasa paling benar, merasa paling berpengalaman dan paling tersakiti oleh kenyataan tanpa mencoba untuk melihat sisi baik dari suatu keadaan. Fix saya mengalami indikasi penyakit “maha benar netizen”. Titik baliknya terjadi ketika saya memasuki tahun ke 3 bekerja di perusahaan tersebut. Suatu saat kenaikan gaji saya cukup kecil. Sebenarnya tidak kecil tapi tidak sebesar kenaikan di tahun sebelumnya. Pada momen itu saya menolak untuk menyadari kalo saya sudah tertinggal terlalu jauh dari rekan-rekan kerja saya yang saya cap “halu” itu. Biasanya pada momen ini saya mengancam divisi HR kalo saya akan pindah ke perusahaan lain agar mendapatkan counter offer. Tapi dengan kondisi saya yang sudah berkeluarga dan tinggal dalam rumah kontrakan, itu tidak mungkin. Di sisi lain, alam bawah sadar saya menyadari jika performa saya tidak sebagus itu. Ketika itu, yang bisa saya lakukan hanya menerima kenyataan dan melanjutkan hari demi hari bekerja dengan semangat yang sudah surut.

Suatu saat ketika makan siang, saya duduk bersama teman lama yang dulunya kita sama-sama meniti karir dari nol tapi sekarang dia berada di posisi VP (Vice President). Saya tanya, kenapa kita sama-sama start di tahun yang sama, tapi kok outcome-nya beda? Saya masih saja menjadi engineer sementara dia sudah berada di posisi VP? Jawabannya sederhana. Katanya dia selalu bekerja seolah-olah digaji 2 kali lipat dari dari gaji dia sekarang. Jawaban dia sungguh bertentangan dengan mindset saya.

Saya tanya lagi “Loh kalo gitu kamu bisa dimanfaatin loh sama perusahaan”

Dia jawab dengan santai “Ya gak apa-apa, itu mah urusan perusahaan. Soal kualitas kerja itu urusan saya.”
“Terus soal gaji gimana? Gak fair dong kamu kerja keras tapi dibayarnya segitu-gitu aja” Saya tanya dengan sedikit menggebu-gebu

“Fan, semakin kamu ngejar duit, semakin kamu gak akan merasa cukup. Kenapa gak fokus sama growth dan kualitas kita aja? Semakin kita berkualitas, semakin value kita berharga untuk perusahaan dan bahkan untuk perusahaan yang nyari kita. Dampak ke diri kitanya pun bagus, kita semakin terlatih untuk punya etos kerja dan tanggung jawab” sambil menepuk pundak sebelah kanan saya.

Emang beda mindset seorang manager. “semakin kamu ngejar duit, semakin kamu gak akan merasa cukup” Kata-kata inilah yang bikin mata saya terbelalak dan membawa alam bawah sadar saya menuju titik terang dari jalan buntu yang tertanam akibat mindset saya sebelumnya. Keesokan harinya saya coba terapkan hasil dari deep talk ditengah jam makan siang kemarin. Hasilnya, gila, ide banyak bermunculan, saya jadi lebih aktif di slack menanyakan konteks masalah untuk kemudian saya konversi ke inisiatif dan itu akan menjadi point-point untuk solving problem yang selama ini tidak terselesaikan. Seakan pemikiran tersebut berhasil mendobrak pintu ide inisiatif yang telah lama terkunci. Ini mirip kejadian seperti ketika Aomine melihat Kuroko membuka direct drive zone untuk Akagi sampai membuat Aomine nangis (Yang suka nonton Kuroko no Basuke akan relate). Nah Aomine itu seperti saya.

Fase Berkembang

Dampak dari perubahan mindset itu berhasil memicu growth mindset saya. Tidak hanya berdampak pada kehidupan profesional tapi juga kehidupan personal. Saya memahami jika ternyata waktu bisa dialokasikan secara spesifik dengan bantuan google calendar sehingga semua hal yang muncul di pikiran saya dapat dieksekusi pada waktu tertentu. Ilmu dan pengalaman yang didapatkan dari pekerjaan saya terapkan di kehidupan personal begitupun sebaliknya. Semuanya menjadi berkaitan membentuk suatu ekosistem, lingkaran produktif yang membuat hidup saya lebih berwarna. Butuh waktu 7 tahun lebih untuk membuat saya menjadi orang yang berkembang dan bertanggung jawab. Oleh karena itu saya mengerti mengapa masih ada aja orang yang ngaret, ngirim lampu send kanan tapi belok kiri, parkir sembarangan di jalan kecil itu dikarenakan butuh waktu yang panjang untuk menjadi waras.

Tiba waktunya saya berpamitan dengan perusahaan yang sudah saya tempati selama hampir 5 tahun. Alasan saya resign karena saya sudah tidak berkembang, assignment yang saya dapatkan sudah tidak relevan dengan permasalahan yang terjadi. Saya menginginkan posisi lebih tinggi untuk dapat melihat masalah seutuhnya dan sepertinya ruang gerak saya sudah mencapai batas. Disisi lain saya tidak bisa menggapai financial goals dengan pendapatan yang saya dapat ketika itu. Kenaikan gaji tahunan tidak sesuai dengan yang saya harapkan sementara ada perusahaan lain yang memberi saya jaminan gaji yang jauh lebih tinggi dengan role leader. Standar lah ya manusiawi. 

Resiko berpindah tempat adalah mungkin kita akan mendapatkan tempat kerja yang secara culture berseberangan dengan perusahaan sebelumnya dan itu akan membuat kita tidak betah lalu berpikiran untuk pindah lagi. Oleh karena itu tidak sedikit pekerja yang lama di perusahaan sebelumnya lalu resign, dia akan resign lagi dalam waktu singkat sampai menemukan perusahaan yang membuat dia nyaman. Saya sudah perkirakan jika saya pindah kemungkinan besar akan menemukan perusahaan yang secara culture tidak lebih baik. Perlu diakui tempat kerja saya sebelumnya memiliki CEO keren yang memberikan dampak pada culture sehingga semua orang memiliki growth mindset dan CEO seperti itu tidak banyak. Disisi lain hal positif dari berpindah tempat kerja adalah kenaikan gaji di atas 30%. Ini seperti analogi Eren Yeager di anime Attack on Titan. Kita itu hidup di neraka dan tidak tau jika melangkah kedepan akan menemukan surga atau mungkin neraka lagi. Yang jelas jika kita tidak melangkah, kita akan terbakar di sini.

Fase Coffee

Role leader yang saya ambil memberi akses saya untuk melihat masalah dari sudut pandang yang lebih besar. Seminggu saya bekerja di sana, saya mulai membuat list step apa saja yang perlu dilakukan untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan yang muncul di permukaan. Setelah saya jalani sampai 1 bulan, ternyata itu memang baru permukaan. Banyak hal yang sulit saya kendalikan ketika memulai untuk memperbaiki satu persatu. Bisa disimpulkan permasalahannya adalah Ownership. Jika di tempat sebelumnya saya menghadapi orang-orang yang punya ownership, di sini saya menghadapi orang-orang yang tidak punya ownership, sama-sama merasa menjadi orang paling waras diantara lingkungan yang tidak waras. Kok dejavu ya?

Ownership memicu inisiatif, inisiatif memicu growth mindset, growth mindset menciptakan sense untuk mencium akar permasalahan. Jika akar permasalahan sudah ditemukan maka itu bisa dikonversi menjadi keteraturan. Lalu apa yang terjadi jika semua orang tidak paham tentang ownership? Ya betul, itu akan menciptakan situasi kerja yang berantakan. Saya mulai dengan membangun culture dari tim yang saya pegang dengan harapan saya bisa mengkomunikasikan ini melalui atasan saya yang kemudian bisa ditularkan ke tribe lain. Namun ternyata culture yang ada sudah terbentuk secara struktural, sudah menjadi kebiasaan yang sulit untuk dipatahkan. Cara pandang kebanyakan yang bekerja disini dalam memandang suatu masalah adalah “Asalkan itu bukan salah saya, saya tidak peduli”. Cara pandang seperti itu jelas akan menciptakan lingkaran setan. Produk dibuat secara membabi buta karena tidak ada perencanaan, Engineer mengerjakan sesuatu tanpa tau produknya apa, QA test sesuai arahan tim produk yang sebenarnya dia juga tidak tau produk itu untuk apa, setelah release banyak bug secara teknis dan flow. Akar permasalahannya? Karena masing-masing hanya berpikir “Asalkan itu bukan salah saya, saya tidak peduli”. Bayangkan saya dan tim berada di tengah lingkaran setan itu. Jangankan tim, saya pun merasa ketakutan setiap menghadapi hari senin.

Saya tidak cocok dengan kopi karena efek caffeine yang cukup berdampak pada kualitas tidur saya. Disisi lain, entah kenapa kebanyakan drakor berisi tentang kehidupan profesional dan biasanya selalu ada adegan sang pemeran utama dan teman-temannya minum sebelum bekerja. Biasanya mereka meminum americano. Suatu saat saya mengajak istri saya nongkrong di suatu coffee shop, saya membeli non coffee sementara dia membeli es kopi gula aren yang akhir-akhir ini cukup terkenal. Sejujurnya saya senang melihat warna coklat kopi sebagaimana melihat perempuan cantik. Mungkin jika saya minum seteguk tidak akan terasa begitu berdebar-debar ya, Lalu saya meminta seteguk kepada istri saya. Dan wow rasanya kok enak banget. Ada rasa pahit kopi dan sedikit rasa manis dari gula aren. Ini kopi terenak yang pernah saya teguk. Keesokan harinya saya coba untuk WFC di coffee shop tersebut dengan memesan kopi yang kemarin istri saya beli. Ternyata dampaknya cukup besar terhadap perilaku saya dalam menghadapi lingkaran setan yang membelenggu semangat saya. Saya merasa lebih gesit, lebih cepat tanggap, lebih fokus dan ide-ide terus bermunculan. Growth mindset dan coffee sungguh duet maut. Sedikit demi sedikit permasalahan bisa diselesaikan, tim saya sedikit banyak berhasil mempengaruhi tribe lain dengan berbagai macam framework yang kami ciptakan. Masih ada sih sedikit remah-remah yang merusak kebiasaan baru. Tapi tidak apa-apa, suatu perubahan ke arah yang lebih baik bisa dimulai dari lingkaran kecil dulu. Semenjak menerapkan kebiasaan ngopi di hari kerja, kini hari senin sudah tidak menakutkan lagi, malah membuat saya tidak sabar untuk menghadapinya karena di hari itu saya akan pergi ke coffee shop, duduk di spot favorit dan mulai bekerja sambil menyeruput kopi favorit saya.

Leave a comment